Kegiatan pembangunan secara ideal
bertujuan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu yang
terpatri dalam rumusan dasar negara kita yakni Pancasila. Modal agar kita dapat
mencapai keadilan sosial adalah sumber daya manusia nya, yang ber-Tuhan, yang
berkemanusiaan, yang bersatu dan yang bermusyawarah. Sehingga dari sumber daya
manusia yang berkualitas inilah sumber daya alam akan diolah dengan baik. Bagi
sebagian rakyat kemakmuran atau kesejahteraan adalah milik kaum yang berkantong
tebal, dan ada pula yang berpandangan bahwa kemakmuran hanya untuk yang
memerintah bukan untuk seluruhnya. Bagi saya kesejahteraan dan kemakmuran
memiliki arti yang sangat berbeda, bagi saya kesejahteraan dan kemakmuran bukan
untuk yang memerintah atau yang diperintah atau yang menikmati perintah tapi
kesejahteraan untuk semua rakyat, penduduk, penghuni suatu rumah (Negara).
Menatap lebih jeli lagi, dari fakta
yang ada telah diketahui sekarang ini harga bahan pokok kian bersaing dengan
harga diri. Mengapa ini terjadi dinegara
kita yang terkenal dengan “ijo royo-royo
toto titi tentrem gemah ripah loh jinawi’’ para sesepuh kita menyebut
Negara ini adalah Negara hijau yang kaya raya tertata dengan kesejahteraan
makmur dalam jiwanya. Kurang lebih 150 orang mengaku lebih memlilih menjadi
gepeng dari pada dia harus kelaparan atau melakukan tindak kriminal yang lain,
dan fakta yang ada dilapangan sekitar 200 perampok / maling tertangkap setiap
harinya di seluruh wilayah Indonesia.
“Negara ini bisa besar dari sector
pertanian” ucap Kyai Mustofa Bisri dalam suatu pidatonya, sekarang kita belajar
dari perkataan tersebut. Kenapa pertanian kita sangat tragis seperti ini
padahal Negara ini adalah lumbung yang besar. Mungkin karena kepemilikan atau
penguasaan tidak terkendali. Seperti yang kita lihat bahwa yang kaya akan
semakin kaya, dan yang miskin akan tetap saja tercekik.
Dari berbagai perkembangan sejarah
didunia. Terbukti bahwa suatu Negara yang tidak seimbang kepemilikan dan
penguasaan sumber daya alamnya. Akan menimbulkan kesengsaraan rakyat dan
pelbagai masalah.
Istilah pembaruan agraria (reforma
agraria) mungkin jalan keluar yang bisa kita lakukan, atau pengertian
singkatnya adalah lendreform. Hampir seluruh Negara dalam proses
pembagunan Negara pernah melakukan ini. Memang pembaruan agrarian ini adalah
konsep dari kaum sekularisme tapi mengapa kita tidak mencoba mengambil yang
baik untuk kebaikan Negara kita, kalau memang ada efek samping atau imbas jika
efek tersebut lebih sedikit dari pada manfaat kenapa tidak. Pelaksanaan lendreform ini adalah untuk
mempertinggi taraf hidup petani sebagai landasan untuk menyelenggarakan ekonomi
adil dan makmur berdasar pancasila.
Setelah enam bulan dari kemerdekaan
Bung Hatta menyampaikan pidatonya yang berjudul “Ekonomi Indonesia di Masa Depan”.
Sekalipun isinya hanya berupa gagasan bukan ketetapan, tetapi pidato itu dapat
mencerminkan kehendak para pendiri bangsa ini. Didalam pidatonya beliau sangat
menegaskan bahwa tanah tidak bisa dikuasai oleh sebagian orang tetapi harus
merata.
Ternyata Indonesia telah menjalankan
sistem lendreform ini sudah sejak jaman kerajaan, dan puncaknya saat
dibuatnya Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960. Hambatan yang menghadang
termasuk pro-kontra substansialnya dan kecurigaan terhadap penyusupan paham
komunis di dalamnya, akibat kendala-kendala itu, maka landreform yang
begitu krusial sempat tidak berjalan begitu lama. Padahal dalam sejarahnya landreform
justru pertama kali dipopulerkan oleh Amerika Serikat di Jepang, Taiwan dan
Korea Selatan. Ahli Tanah dari New York,
Wlf Ladeijensy, dikontrak untuk melancarkan kebijakan pembagian tanah guna
menangkal pengaruh komunisme. Namun saat diundang oleh Presiden Soekarno untuk
membantu melakukan program serupa di Indonesia, Ladeijensky berpendapat program landreform ini
akan gagal di Indonesia, karena minimnya pemerintah yang dapat digunakan
membeli tanah-tanah luas yang akan dibagikan. Juga setelah kunjungannya yang
pertama (1961) beliau mengatakan bahwa keadaan tanah di jawa yang langka dan
penduduk yang banyak maka ketentuan luas maksimun tidak memungkinkan
tersedianya tanah yang cukup untuk dibagikan (erman Rajagukguk, 1985;323). Jika
konsistensi pemantau batas pemilikan tanah terus dijaga baik batas maksimal
maupun minimal tentu persoalan keadilan di bidang pertanahan tidak akan
merebak.
Sejak awal pelaksanaan landreform sekitar tahun 1961 sampai
dengan tahun 2002 setidak-tidaknya sebanyak 840.227 ha tanah obyek landreform
sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar di seluruh
Indonesia antara lain adanya administrasi pertanahan yang tidak sempurna. Hal
ini mengakibatkan luas tanah obyek landreform yang akan dibagikan
menjadi tidak tepat Kelemahan ini sangat rawan dan membuka peluang bagi penyimpangan
dan penyelewengan (Kompas Cyber,13 Mei 2002).
Hambatan utama landreform
adalah lemahnya kemauan politik pemerintah seperti pada masa orde baru yang
lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi memang jika dilihat pertumbuhan ekonomi
sangat penting, akan tetapi yang lebih penting lagi bukannya tumbuhnya ekonomi
didampingi dengan meratanya ekonomi tersebut. Tabungan kita untuk membangun negeri
sebenarnya sudah ditemukan hanya saja kurang tindakan atas tabungan tersebut.
Untuk mengatasi penguasaan lahan kita punya reforma agraria, untuk memanfaatkan
tanah yang kurang subur kita punya teknik solarisasi tanah, untuk para petani
yang tidak punya lahan kita memiliki urban
farming, akuaponik, hidroponik dan lain sebagainya. Masalah
menurut penulis adalah tentang air, memang seperempat dari bumi ini adalah air,
akan tetapi jika air dikuasai oleh seseorang bukan mustahil Negara bahkan bumi
ini akan kekeringan. Tak terbayang jika kita ingin memakai air harus menyaring
dari air laut misalnya. Itulah masalah pertanian yang menurut saya perlu
diselesaikan, coba bayangkan jika pemerintah kita telah membangun saluran
irigasi besar-besaran akan tetapi air yang mengaliri sedikit atau bahkan habis?
Kalau lah orang miskin dilarang
sakit, tentulah makam akan bertambah sempit, jika orang miskin tak boleh pandai
makan serakah semakin semeringah. Negeri ini katanya serpihan surga, nyatanya
berbanding terbalik, mengeluh bukan solusi untuk menyelesaikan masalah, mari
kita bersama-sama berjalan membangun Indonesia yang ber-Tuhan, berkemanusian,
bersatu, bermusyawarah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Cukuplah sudah keluh kesah itu, mari kita bangun ekonomi yang merata
yang dapat membangunkan raksasa besar yang
sedang tidur. Cukuplah bangga menjadi Indonesia. (By : Noval Abdillah_Ilalang)
